Secara leksikologis yang dimaksud
dengan gaya bahasa yakni: (i) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang
dalam bertutur atau menulis; (ii) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh
efek-efek tertentu; (iii) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra;
(iv) cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk lisan dan
tulisan (Depdikbud, 1993:297).
Gaya bahasa termasuk stilistika
yaitu mempunyai hubungan timbalebalik dengan lambang, yang berarti setiap lambang
mengandung makna. Perubahan makna yang terdapat dalam setiap kata atau lambang,
baik lambang di dalam kesendiriannya maupun lambang di dalam kedudukannya
sebagai unsur kalimat hatus diihat dari dua segi yaitu: (i) perubahan makna
yang disebabkan oleh asosiasi antara makna dan makna; dan (ii) asosiasi antara
nama dan nama. Dari kedua segi ini terlihat adanya kesamaan dan kedekatan makna.
Kesamaan antara makna adalah metafora dan kedekatan antara nama adalan
metonomia.
Gaya bahasa memang banyak dan
biasanya dibicarakan dalam sastra. Sebenarnya bukan soal gaya bahasa yang
dipentingkan, tetapi makna atau kalimat yang menggunakan gaya bahasa tersebut
yang perlu dibicarakan. Misalnya Pak Made
membeli lima ekor kambing. Orang yang mendengar pernyataan tersebutakan
segera mengetahui bahwa makna yang terkandung dalam gabungan kata ini adalah lima
kambing bukan lima ekor kambing.
Dengan demikian dapat dikatakan ada
makna yang berhubungan dengan gaya personifikasi, metonomia dan seterusnya.
Akibatnya makna yang berhubungan dengan gaya bahasa, ada yang dapat dilihat
dari segi kedekatan antarmakna, ada pula yang dapat dilihat dari kedekatan
antarmakna.
1. Metafora
Struktur dasar metafora sangat
sederhana yaitu sesuatu yang dibicarakan
dan ada sesuatu yang dipakai sebagai perbandingan. Kedua benda yang
diperbandingkan mempunyai sifat yang sama. misalnya kata jago yang mengacu pada ayam jantan, dihubungkan dengan seorang
pelari. Maka dari itu pelari tersebut sering disebut Ia jago lari.
Berdasarkan uraian di atas,
metafora kemudian dapat dirinci menjadi tiga golongan, yakni: (i) metafora
antropomorfis; (ii) metafora binatang dan (iii) metafora sinestetik. Metafora
antropomorfis yaitu metafora yang berada dalam diri manusia. Sesuatu yang
melakat dalam diri manusia dijadikan sebagai ungkapan untuk benda lain. Manusia
membandingkan dan mengasosiasikan unsur-unsur badannya dengan alam sekitar
sehingga lahirlah metafora antropomorfis. Misalnya: bungut paon.
Di samping metafora yang
berhubungan dengan diri manusia, terdapat pula metafora yangberhunungan dengan
binatang. Yang terpenting pada metafora binatang adalah asosiasi membandingkan
sifat-sifat binatang dan sifat-sifat manusia yang nampak. Yang diperbandingkan
sebenarnya bukan sifat saja tetapi juga unsur-unsur tubuh hewan. Sehingga
lahirlah urutan kata seperti: lidah
buaya, kumis kucing, telur mata sapi, dan sebagainya. Kalau orang
mengatakan tulisanmu seperti cakar ayam, maka orang akan segera mengasosiasikan dengan
kenyataan tulisan orang tersebut, sehingga ketika orang melihatnya tulisan itu
sebenarnya jelek.
Selanjutnya metafora sinestetik
yaitu metafora yang didasarkan pada perubahan kegiatan dari indera ke indera
yang lain misalnya: warna bajunya manis
sekali. Pernyataan tersebut menandakan adanya perubahan kegiatan indera
dari indera mulut yang merasakan rasa manis ke indera mata yang melihat warna
baju yang elok dipandang mata.
2. Metafora
Bahasa Bali
Kemudian
DR.Drs. I Gusti Putu Antara, M.Pd. dalam
bukunya Semantik Bahasa Bali menyatakan, metafora berarti penggunaan bahasa
dengan makna yang tidak sebenarnya atau dalam istilah Bali disebut paribhasa
Bali dan dalam bahasa Indonesia disebut gaya bahasa. Penggunaan bahasa dalam
bahasa Bali mengacu unsur perbandingan antara dua unsur dalam bahasa Bali di kenal dua macam
yaitu pepindan dan sesawangan. Pepindan umumnya berupa perbandingan langsung (bajog, ci!) sedangkan sesawangan memakai kata banding contoh : bokne
putri kadi mbotan belayag, nanging
bokne putra alah duk.
1. Struktur Sesawangan dan pepindan dalam bahasa Bali.
Dalam
paribhasa Bali ada kalimat bermakna kiasan, yakni bermakna metaforis yang
sering terdengar dalam tuturan bahasa bali yang diistilahkan pepindan dan sesawangan.
1) Sesawangan
Pemakaian
perbandingan dalam bahasa Bali dengan istilah sesawangan atau perumpamaan dalam
bahasa Indonesia. Sesawangan
dinyatakan sebagai bentuk yang biasanya menggunakan kata-kata banding, seperti:
cara, alah, buka, sekadi, tulya,
rumaksat, satsat atau bagaikan, seperti, bak dalam bahasa Indonesia.
Contoh: Cai care celeng!
Makna metafora sesawangan ini adalah kamu memang kotor.
Makna kotor dipilih dari sejumlah identitas dari celeng ’babi’ lalu dikenakan atau dipindahkan pada Cai “kamu”
sehingga makna metaforisnya bahwa kamu
memang kotor. metafora dapat dapat
di bagi berdasarkan apa yang membentuk metaforisnya dan atas dasar ini metafora
bahasa Bali dapat di bagi menjadi :
1. MNS
(Metafora Nomina Subjek) = bilamana subjek kalimatnya dengan katabenda sebagai
bentuk perbandingan metaforisnya
2. MNO
(Metafora Nomina Subjektif) = bilamana objek kalimatnya dengan kata benda
sebagai bentuk perbandingan metaforisnya.
3. MP
(Metafora Predikatif) = Bilamana predikat kalimatnya dengan kerja sebagai
bentuk perbandingan metaforisnya.
4. MK
(Metafora Kalimatif) = Bilamana kalimatnya secara keseluruhan sebagai bentuk
perbandingan metaforisnya.
2)
Pepindan
Pepindan
adalah penggunaan perbandingan secara langsung dan tanpa menggunakan kata-kata
banding untuk dua buah objek yang diistilahkan Petanda dan Penanda atau
antara signifie dengan . Istilah pepindan
bersinonim dengan istilah metafora dalam bahasa indonesia. Perbedaan antara
pepindan dan sesawangan terlihat bahwa bentuk pepindan merupakan ” bentuk perbandingan langsung.
Contoh:
Kija
kuluke ento buin mlali? (kuluk = seseorang yang di bencinya)
Ujaran metafora
bahasa bali merupakan struktur gramatikal yang dapat dibagi menjadi tiga macam,
yakni fungsi sintaksis, teori, dan peran (Verhaar, 1981:70). Unsur-unsur
gramatikal meliputi: fungsi sintaksis seperti subjek, objek, predikat.
ii.
Metonomia
Selain
metafora, dikenal pula dengan istilah metonomia. Metonomia mengandung
kedekatan makna dari dua hal, bahkan
adang-kadang suatu benda yang digunakan untuk menggantikan benda yang dimaksud.
Misalnya: Saya tidak suka naik Merpati,
saya lebih suka naik Garuda. Merpati dan garuda yang dimaksud bukanlah
sejanis burung tetapi langsung mengacu pada nama maskapai penerbangan atau pesawat
yang bernama Merpati dan Garuda.
Metonomia dapat juga berwujud
asosiasi antara penemu dengan penemuannya. Misalnya: Tegangan listrik itu 210 volt. Yang dimaksud dengan 210 volt
bukanlah penemunya melainkan besarnya satuan listrik tersebut dan tidak ada
hubungannya dengan penemunya.
Selain kedekatan dan kesamaan makna,
kadang-kadang orang dapat menyatakan kenyataan yang berhubungan dengan
penerapan makna. Misalnya kata mengamuk
yang berhubungan dengan sifat manusia, dapat diterapka dengan pada benda-benda lain misalnya api mengamuk, ombak mengamuk, topan mengamuk,
dan sebagainya. Itu bermakna sesuatu yang mengerikan terjadi. dikaitkan dengan
gaya bahasa, makna seperti itu disebut denga gaya bahasa personifikasi.
Hal yang berhubungan dengan kesamaan makna, terlihat pula
pada gaya bahasa tropen. Misalnya: Ia
terhanyut dalam lamunannya. Terhanyut
bukanlah hal yang bermakna terbawa air, namun dalam pernyataan ini adalah untuk
menyamakan makna seperti itu kadang-kadang digunakan untuk melembutkan maksud.
Jika dihubungkan dengan gaya bahasa, maka hal seperti ini sering disebut dengan
gaya bahasa eufemisme.
Hal menyamakan makna dapat juga
dilihat pada keadaan yang suka berlebih-lebihan. Dihubungkan dengan gaya
bahasa, maka hal seperti ini disebut gaya bahasa hiperbola. Misalnya: sampah di depan kelas itu menggunung.
Kalau mengatakan menggunung akan
dibayangkan sampah tersebut sebesar gunung artinya sangat banyak sudah seperti
gunung.
Kadang-kadang hal menyamakan makna
digunakan pula untuk merendahkan diri. Dihubungkan dengan gaya bahasa, maka hal
seperti ini desebut gaya bahasa litotes. Misalnya: Mampirlah ke pondok saya! Disini manusia kadang-kadang bersembunyi
di balik kata-katanya. Seperti yang dijelaskan di atas, mereka tidak mau
berterus terang. Tentunya berhubungan dengan faktor psikologis dan tidak mau
menyombongkan diri. Pondok yang
dimaksud barangkali rumahnya besar sekali dan mewah. Pernyataan di atas
sebenarnya hanya bertujuan untuk merendah saja.
Hal menyamakan makna diterapkan pula
untuk menyindir, baik sindiran halus, sindiran agak kasar, maupun sindiran yang
kasar. Jika dihubungkan dengan gaya bahasa, hal seperti ini sdisebut dengan
gaya bahasa ironi untuk sindiran halus, gaya bahasa sinisme untuk sindiran agak
kasar dan gaya bahasa sarkasme untuk sindiran yang kasar. Sindiran halus
misalnya: Hei, hampir kesiangan ya?
(pada hari sudah pukul 10.00). Sindiran agak kasar misalnya: Harum benar badanmu! (padahal bau
busuk). Sindiran kasar misalnya: anjing
kamu! Keluar dari sini!.
Apa yang dijelaskan di atas semua
memperlihatkan bahwa apa yang dimaksud perlu dicari lagi. orang belum
berhadapan dengan makna sebenarnya. Meskipun maknanya harus dicari dan diterka,
pemakai bahasa telah mengerti apa yang dimaksud oleh pembicara. Pendengar atau
pembaca telah mengerti apa yang berada di balik kata atau urutan kata yang
diujarkan atau yang tertulis.
DAFTAR PUSTAKA
Anandakusuma, Sri
Reshi. 1968. “Kamus Bahasa Bali” .
CV. Kayumas Agung
Antara, I Gusti Putu.
2007. “ Tata Lengkara (Sintaksis Bahasa
Bali)”. Singaraja.
Antara, I Gusti Putu. 2012. “Semantik
Bahasa Bali.Singaraja”. STKIP
Agama Hindu.
Kushartanti, Dkk. 2005.
“Pesona Bahasa-Langkah Awal Memahami
Linguistik”. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama
Peteda, Mansoer.1985.
“Semantik Leksikal”, Jakarta. Rineka
Cipta.
Sukada, Made. 1987. “Beberapa Aspek tentang Sastra”.
Denpasar. Kayu Mas dan Yayasan Ilmu Seni Lesiba.
Sumarlam, Dkk. 2004. “Analisis Wacana”. Bandung. Pakar Karya
Tinggen, I Nengah.
1984. “Tata Basa Bali Ringkes”.
Singaraja. Indra Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar