Senin, 17 Desember 2012

MAKNA DALAM GAYA BAHASA


MAKNA DALAM GAYA BAHASA

Secara leksikologis yang dimaksud dengan gaya bahasa yakni: (i) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (ii) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (iii) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra; (iv) cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk lisan dan tulisan (Depdikbud, 1993:297).
Gaya bahasa termasuk stilistika yaitu mempunyai hubungan timbalebalik dengan lambang, yang berarti setiap lambang mengandung makna. Perubahan makna yang terdapat dalam setiap kata atau lambang, baik lambang di dalam kesendiriannya maupun lambang di dalam kedudukannya sebagai unsur kalimat hatus diihat dari dua segi yaitu: (i) perubahan makna yang disebabkan oleh asosiasi antara makna dan makna; dan (ii) asosiasi antara nama dan nama. Dari kedua segi ini terlihat adanya kesamaan dan kedekatan makna. Kesamaan antara makna adalah metafora dan kedekatan antara nama adalan metonomia.
Gaya bahasa memang banyak dan biasanya dibicarakan dalam sastra. Sebenarnya bukan soal gaya bahasa yang dipentingkan, tetapi makna atau kalimat yang menggunakan gaya bahasa tersebut yang perlu dibicarakan. Misalnya Pak Made membeli lima ekor kambing. Orang yang mendengar pernyataan tersebutakan segera mengetahui bahwa makna yang terkandung dalam gabungan kata ini  adalah lima kambing bukan lima ekor kambing.
Dengan demikian dapat dikatakan ada makna yang berhubungan dengan gaya personifikasi, metonomia dan seterusnya. Akibatnya makna yang berhubungan dengan gaya bahasa, ada yang dapat dilihat dari segi kedekatan antarmakna, ada pula yang dapat dilihat dari kedekatan antarmakna.
1.      Metafora
Struktur dasar metafora sangat sederhana yaitu  sesuatu yang dibicarakan dan ada sesuatu yang dipakai sebagai perbandingan. Kedua benda yang diperbandingkan mempunyai sifat yang sama. misalnya kata jago yang mengacu pada ayam jantan, dihubungkan dengan seorang pelari. Maka dari itu pelari tersebut sering disebut Ia jago lari.
Berdasarkan uraian di atas, metafora kemudian dapat dirinci menjadi tiga golongan, yakni: (i) metafora antropomorfis; (ii) metafora binatang dan (iii) metafora sinestetik. Metafora antropomorfis yaitu metafora yang berada dalam diri manusia. Sesuatu yang melakat dalam diri manusia dijadikan sebagai ungkapan untuk benda lain. Manusia membandingkan dan mengasosiasikan unsur-unsur badannya dengan alam sekitar sehingga lahirlah metafora antropomorfis. Misalnya: bungut paon.
Di samping metafora yang berhubungan dengan diri manusia, terdapat pula metafora yangberhunungan dengan binatang. Yang terpenting pada metafora binatang adalah asosiasi membandingkan sifat-sifat binatang dan sifat-sifat manusia yang nampak. Yang diperbandingkan sebenarnya bukan sifat saja tetapi juga unsur-unsur tubuh hewan. Sehingga lahirlah urutan kata seperti: lidah buaya, kumis kucing, telur mata sapi, dan sebagainya. Kalau orang mengatakan tulisanmu seperti cakar ayam,  maka orang akan segera mengasosiasikan dengan kenyataan tulisan orang tersebut, sehingga ketika orang melihatnya tulisan itu sebenarnya jelek.
Selanjutnya metafora sinestetik yaitu metafora yang didasarkan pada perubahan kegiatan dari indera ke indera yang lain misalnya: warna bajunya manis sekali. Pernyataan tersebut menandakan adanya perubahan kegiatan indera dari indera mulut yang merasakan rasa manis ke indera mata yang melihat warna baju yang elok dipandang mata.
2.      Metafora Bahasa Bali
Kemudian DR.Drs. I Gusti Putu Antara, M.Pd. dalam bukunya Semantik Bahasa Bali menyatakan, metafora berarti penggunaan bahasa dengan makna yang tidak sebenarnya atau dalam istilah Bali disebut paribhasa Bali dan dalam bahasa Indonesia disebut gaya bahasa. Penggunaan bahasa dalam bahasa Bali mengacu unsur perbandingan antara dua unsur dalam bahasa Bali di kenal dua macam yaitu pepindan dan sesawangan. Pepindan  umumnya berupa perbandingan langsung (bajog, ci!) sedangkan sesawangan memakai kata banding  contoh : bokne putri kadi mbotan belayag, nanging bokne putra alah duk.
1.       Struktur Sesawangan dan pepindan dalam bahasa Bali.
Dalam paribhasa Bali ada kalimat bermakna kiasan, yakni bermakna metaforis yang sering terdengar dalam tuturan bahasa bali yang diistilahkan pepindan dan sesawangan.
1)   Sesawangan
Pemakaian perbandingan dalam bahasa Bali dengan istilah sesawangan atau perumpamaan dalam bahasa Indonesia. Sesawangan dinyatakan sebagai bentuk yang biasanya menggunakan kata-kata banding, seperti: cara, alah, buka, sekadi, tulya, rumaksat, satsat atau bagaikan, seperti, bak dalam bahasa Indonesia. 
Contoh: Cai care celeng!
Makna metafora sesawangan ini adalah kamu memang kotor. Makna kotor dipilih dari sejumlah identitas dari celeng ’babi’ lalu dikenakan atau dipindahkan pada Cai “kamu” sehingga makna metaforisnya bahwa kamu memang kotor. metafora dapat  dapat di bagi berdasarkan apa yang membentuk metaforisnya dan atas dasar ini metafora bahasa Bali dapat di bagi menjadi :
1.    MNS (Metafora Nomina Subjek) = bilamana subjek kalimatnya dengan katabenda sebagai bentuk perbandingan metaforisnya
2.    MNO (Metafora Nomina Subjektif) = bilamana objek kalimatnya dengan kata benda sebagai bentuk perbandingan metaforisnya.
3.    MP (Metafora Predikatif) = Bilamana predikat kalimatnya dengan kerja sebagai bentuk perbandingan metaforisnya.
4.    MK (Metafora Kalimatif) = Bilamana kalimatnya secara keseluruhan sebagai bentuk perbandingan metaforisnya.
2)        ­Pepindan
Pepindan adalah penggunaan perbandingan secara langsung dan tanpa menggunakan kata-kata banding untuk dua buah objek yang diistilahkan Petanda dan Penanda atau antara signifie dengan .  Istilah pepindan bersinonim dengan istilah metafora dalam bahasa indonesia. Perbedaan antara pepindan dan sesawangan terlihat bahwa bentuk pepindan merupakan ” bentuk perbandingan langsung.
Contoh:
Kija kuluke ento buin mlali? (kuluk = seseorang yang di bencinya)
Ujaran metafora bahasa bali merupakan struktur gramatikal yang dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni fungsi sintaksis, teori, dan peran (Verhaar, 1981:70). Unsur-unsur gramatikal meliputi: fungsi sintaksis seperti subjek, objek, predikat.

                                                            ii.      Metonomia
Selain metafora, dikenal pula dengan istilah metonomia. Metonomia mengandung kedekatan  makna dari dua hal, bahkan adang-kadang suatu benda yang digunakan untuk menggantikan benda yang dimaksud. Misalnya: Saya tidak suka naik Merpati, saya lebih suka naik Garuda. Merpati dan garuda yang dimaksud bukanlah sejanis burung tetapi langsung mengacu pada nama maskapai penerbangan atau pesawat yang bernama Merpati dan Garuda.
Metonomia dapat juga berwujud asosiasi antara penemu dengan penemuannya. Misalnya: Tegangan listrik itu 210 volt. Yang dimaksud dengan 210 volt bukanlah penemunya melainkan besarnya satuan listrik tersebut dan tidak ada hubungannya dengan penemunya.
Selain kedekatan dan kesamaan makna, kadang-kadang orang dapat menyatakan kenyataan yang berhubungan dengan penerapan makna. Misalnya kata mengamuk yang berhubungan dengan sifat manusia, dapat diterapka dengan pada benda-benda lain misalnya api mengamuk, ombak mengamuk, topan mengamuk, dan sebagainya. Itu bermakna sesuatu yang mengerikan terjadi. dikaitkan dengan gaya bahasa, makna seperti itu disebut denga gaya bahasa personifikasi.
Hal yang berhubungan dengan kesamaan makna, terlihat pula pada gaya bahasa tropen. Misalnya: Ia terhanyut dalam lamunannya. Terhanyut bukanlah hal yang bermakna terbawa air, namun dalam pernyataan ini adalah untuk menyamakan makna seperti itu kadang-kadang digunakan untuk melembutkan maksud. Jika dihubungkan dengan gaya bahasa, maka hal seperti ini sering disebut dengan gaya bahasa eufemisme.
Hal menyamakan makna dapat juga dilihat pada keadaan yang suka berlebih-lebihan. Dihubungkan dengan gaya bahasa, maka hal seperti ini disebut gaya bahasa hiperbola. Misalnya: sampah di depan kelas itu menggunung. Kalau mengatakan menggunung akan dibayangkan sampah tersebut sebesar gunung artinya sangat banyak sudah seperti gunung.
Kadang-kadang hal menyamakan makna digunakan pula untuk merendahkan diri. Dihubungkan dengan gaya bahasa, maka hal seperti ini desebut gaya bahasa litotes. Misalnya: Mampirlah ke pondok saya! Disini manusia kadang-kadang bersembunyi di balik kata-katanya. Seperti yang dijelaskan di atas, mereka tidak mau berterus terang. Tentunya berhubungan dengan faktor psikologis dan tidak mau menyombongkan diri. Pondok yang dimaksud barangkali rumahnya besar sekali dan mewah. Pernyataan di atas sebenarnya hanya bertujuan untuk merendah saja.
Hal menyamakan makna diterapkan pula untuk menyindir, baik sindiran halus, sindiran agak kasar, maupun sindiran yang kasar. Jika dihubungkan dengan gaya bahasa, hal seperti ini sdisebut dengan gaya bahasa ironi untuk sindiran halus, gaya bahasa sinisme untuk sindiran agak kasar dan gaya bahasa sarkasme untuk sindiran yang kasar. Sindiran halus misalnya: Hei, hampir kesiangan ya? (pada hari sudah pukul 10.00). Sindiran agak kasar misalnya: Harum benar badanmu! (padahal bau busuk). Sindiran kasar misalnya: anjing kamu! Keluar dari sini!.
Apa yang dijelaskan di atas semua memperlihatkan bahwa apa yang dimaksud perlu dicari lagi. orang belum berhadapan dengan makna sebenarnya. Meskipun maknanya harus dicari dan diterka, pemakai bahasa telah mengerti apa yang dimaksud oleh pembicara. Pendengar atau pembaca telah mengerti apa yang berada di balik kata atau urutan kata yang diujarkan atau yang tertulis.


DAFTAR PUSTAKA
Anandakusuma, Sri Reshi. 1968. “Kamus Bahasa Bali” . CV. Kayumas Agung
Antara, I Gusti Putu. 2007. “ Tata Lengkara (Sintaksis Bahasa Bali)”. Singaraja.
Antara, I Gusti Putu. 2012.Semantik Bahasa Bali.Singaraja”. STKIP Agama Hindu.
Kushartanti, Dkk. 2005. “Pesona Bahasa-Langkah Awal Memahami Linguistik”. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama
Peteda, Mansoer.1985. “Semantik Leksikal”, Jakarta. Rineka Cipta.
Sukada, Made. 1987. “Beberapa Aspek tentang Sastra”. Denpasar. Kayu Mas dan Yayasan Ilmu Seni Lesiba.
Sumarlam, Dkk. 2004. “Analisis Wacana”. Bandung. Pakar Karya
Tinggen, I Nengah. 1984. “Tata Basa Bali Ringkes”. Singaraja. Indra Jaya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar