Kekuatan, Kebanggaan, dan Harga
Diri, Menjadi Sudut
Pandang Tonggak Emansipasi
Wanita
Selama ini, wanita dikatakan menduduki peringkat runner up dibandingkan laki-laki. Secara fisik, laki-lakii memang lebih
kuat dibandingkan wanita, sehingga ruang gerak sebagai wanita lebih dibatasi
dibandingkan laki-laki. Walau demikian tentu tidak selamanya keberadaan kaum
wanita itu dianaktirikan. Sebagaimana yang diajarkan dalam agama Hindu
keberadaan seorang “wanita” adalah konsep yang paling mendasar untuk membentuk
suatu kehidupan baru.
Siapa
yang tidak kenal RA. Kartini? Rasanya di setiap kelas pasti terpampang lukisan
pengarang buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu. Tokoh wanita tersebut
dikenal nama dan jasanya sebagai pelopor gerakan emansipasi wanita di
Indonesia.
Contoh
sikap RA. Kartini sebagi pelopor emansipasi wanita memang tidak bisa dipungkiri
dari waktu ke waktu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan perasaan tidak
akan pernah menerima diskriminasi apalagi pelecehan pada kaum wanita. Laki-laki
dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk
dibandingkan dan direndahkan derajatnya. Bahkan akhir-akhir ini banyak
ditayangkan di media massa dan elektronik tayangan kasus kekerasan kepada kaum
wanita.
Masih
ingatkah anda dengan kasus mutilasi yang terjadi di Bangli beberapa bulan lalu?
Korbannya adalah seorang wanita yang tubuhnya “dicincang” oleh pasangannya
sendiri. Hal tersebut tentu bertentangan
dengan emansipasi wanita. Dari beberapa kutipan yang redaksi temukan, kata
wanita asal katanya adalah empu (per-empu-an). Kata empu sendiri berarti gelar
kehormatan, seorang ahli, atau seorang yang mampu memimpin. Sehingga melihat
asal kata wanita saja adalah keliru jika memperlakukan wanita dengan kasar,
seperti contoh perilaku di atas.
Dalam
pandangan Hindu, wanita mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan. Seperti
yang diceritakan dalam film Mahadewa dan Mahadewa. Kehidupan di dunia dikatakan
tidak lengkap tanpa adanya Sakti (wanita). Bahkan Brahma dan Wisnu pun memiliki
saktinya masing-masing yaitu Saraswati (Brahma) dan Laksmi (Wisnu). Makna filosofis dari sakti itu sendiri yaitu seorang
istri bagi sang suami. Bayangkan jika di dunia ini tidak memiliki sakti
(wanita). Siapa yang akan melahirkan kehidupan selanjutnya?
Penghinaan
terhadap wanita juga dapat memicu kehancuran. Kisah ini mengingatkan kita
betapa kuat dan berpengaruhnya seorang wanita. Ketika insiden Drupadi isteri
Pandawa dihina pada ruang sidang istana kerajaan Kuru. Penghinaan yang
dilakukan pada Drupadi juga turut dirasakan oleh Putra Pandu. Sehingga, sebagai
klimaksnya perang besarpun tak bisa dihindarkan. Demikianlah sesungguhnya
kedudukan seorang wanita. Kehormatan yang tertinggi bagi seorang laki-laki
adalah wanitanya.
Tugas
seorang wanita dalam rumah tangga adalah menjadi seorang Ibu. Sosok wanita
sebagai seorang ibu merupakan contoh kecil kewajiban seorang. Diterangkan pula
dalam bentuk yang lebih besar yang terdapat dalam Hindu adalah ajaran Samkhya.
Samkhya menerangkan bahwa di dunia ini terdapat dua prinsip yang terlibat
langsung dengan proses terciptanya alam semesta yaitu purusa dan prakerti.
Purusa adalah unsur kejiwaan dan prakerti adalah unsur kebendaan atau materi.
Dalam konteks makronya, unsur kebendaan atau materi tersebut adalah ibu pertiwi
(bumi) tempat kita berpijak.
Dalam
Bagawadgita I.41 dinyatakan “Adharmābhībhavād
Kṛsṇa, praduṣyanti kulastriyah, striṣuduṣṭasu
varsṇeya, jāyate varṇasaṁkaraḥ”, yang
artinya dan jika adharma meliputi suasana, O Krisna, para wanita dari kaum
keluarga menjadi jatuh moralnya dan bila para wanita jatuh moralnya, O Krisna,
maka terjadilah kekacauan alam manusia. Dari kutipan tersebut, dapat kita
apresiasi ketika seorang wanita dalam suatu keluarga diselimuti oleh adharma
atau ketidakbenaran, maka kehidupan wanita yang ada dalam keluarga tersebut
menjadi tidak bermoral hal tersebut tentu akan menjadi ancaman bagi keluarga
itu sendiri.
Jadi, wanita adalah simbol kekuatan,
kebanggaan, dan harga diri yang tinggi. Ketika sesorang menghina wanita, orang
tersebut sama saja menghina ibu pertiwi, ibunya sendiri dan menghancurkan
dirinya sendiri. Namun, perlu kita ingat, sebagaimana kewajiban seorang wanita,
tetap harus berjalan sesuai dengan batasan-batasan yang telah ditentukan. (Sus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar