Pasang Aksara Bali
Sebelum lebih jauh mempelajari aksara Bali, terlebih dahulu harus diperhatikan uger-uger penulisan pasang aksara Bali itu sendiri diantaranya: 1)
Pangangge Aksara Ardasuara, 2) Pangangge Tengenan, 3) Rangkepan
Wianjana, 4) Nyurat Kruna Lingga Tigang Kecap, 5) Nyurat Aksara Madwita, 6) Nyurat Pasang Pageh, dan 7) Aksara Anceng. Adapun penjabaran dari
masing-masing materi tersebut sebagai berikut.
1)
Pangangge Aksara Ardasuara
Menurut Nala, (2006:17) aksara ardasuara adalah aksara yang
diucapkan setengah suara, misalnya ya, ra, la, dan wa, yang dapat difungsikan
menjadi aksara wianjana (konsonan/huruf mati) atau aksara suara (vokal/huruf
hidup). Selanjutnya Soken Dkk, (2011:23) dikemukakan bahwa pangangge aksara ardasuara atau penanda bunyi semi vocal terdiri
dari lima buah yaitu nania (… ê) = ya, guung (…É)
= ra, guung marepa (...Ê) =re, gantungan la (…¯) = la, dan suku kembung (…)Ù= wa. Aksara ardasuara bisa berfungsi sebagai wianjana (konsonan) dan juga sebagai vokal. Bila berfungsi sebagai
konsonan, maka harus ditulis sejajar seperti semula yaitu: y,r,l,w, sedangkan
ketika aksara tersebut berfungsi sebagai vokal, maka aksara tersebut berubah
menjadi gantungan … ê (ya), …É (ra), ...Ê (re), …¯(la) dan ….Ù (wa).
2)
Pangangge Tengenan
Tengenan
merupakan aksara wianjana (konsonan)
yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan (Nala, 2006).
Biasanya tengenan ini ditulis dengan
menggunakan gantungan (aksara yang
ditulis di bawah aksara) dan gempelan
(aksara yang ditempelkan pada aksara di depannya. Dinas Kebudayaan Propinsi Bali dikemukakan
sebagai berikut.
“Tengenan
inggih punika aksara wianjana sane nengen sane
kasinahang antuk pangangge tengenan miwah gantungan utawi gempelan”.
Sedangkan Soken Dkk (2011:44)
dikemukakan pengangge tengenan adalah
konsonan yang terletak di akhir suku mati akibat dirangkaikan dengan aksara
yang ada di depannya. Yang termasuk pangangge
tengenan adalah cecek (…*)
= ng, bisah(…;) = h, surang (…()
= r, dan adeg-adeg (…/) = tanda bunyi mati.
3)
Rangkepan Wianjana
Rangkepan
atau rangkapan adalah dua buah aksara wianjana
(konsonan) yang merupakan satu kesatuan dalam sebuah kata (Nala, 2006:21).
Sedangkan Soken Dkk, (2011:34) dikemukakan bahwa rangkepan aksara wianjana
merupakan gabungan aksara konsonan yang dilakukan berdasarkan kesatuan daerah
artikulasi, yang dikelompokkan dalam tabel 03.
Tabel 03. Warga
Aksara
No
|
Aksara
Warga
|
Alpa
prana
|
Maha
prana
|
Alpa
Prana
|
Maha
prana
|
Anu
suara
|
Arda
suara
|
Usma
|
Wisarga
|
1
|
Kantia
|
k
|
¼
|
G
|
f
|
\
|
-
|
-
|
h
|
Ka
|
Kha
|
Ga
|
Gha
|
Nga
|
-
|
-
|
Ha
|
||
2
|
Talawia
|
c
|
….È
|
j
|
ü
|
z
|
y
|
]
|
-
|
Ca
|
Cha
|
Ja
|
Rha
|
Nya
|
Ya
|
Sa
|
-
|
||
3
|
Murdania
|
`
|
`
|
A
|
a
|
x
|
R
|
[
|
-
|
ṭa
|
ṭha
|
ḍa
|
ḍha
|
ṇa
|
ra
|
ṣa
|
-
|
||
4
|
Dantia
|
t
|
q
|
D
|
a
|
n
|
l
|
s
|
-
|
ta
|
tha
|
Da
|
dha
|
na
|
la
|
sa
|
-
|
||
5
|
Ostia
|
p
|
8
|
b
|
v
|
m
|
w
|
-
|
-
|
pa
|
pha
|
Ba
|
bha
|
ma
|
wa
|
-
|
-
|
Menulis gabungan aksara konsonan
harus disesuaikan dengan warga aksaranya
(pengelompokan aksara berdasarkan daerah artikulasi). Aturan penulisan ini
hanya berlaku untuk menulis gabungan aksara konsonan yang terdapat dalam sebuah
kata dasar saja. Adapun contoh rangkepan
wianjana tersebut menurut Soken Dkk,
yaitu: rangkepan nja = (zé),
nca = (zÇ), sca
= (´Ç), jnya = (jñ), ssa = (]Ö), sta = ([Õ), sna = ([Å), nta = (xÕ)), ndha = (xÒ), ksa = (k×).
4)
Kruna Lingga Tigang Kecap (Kata Dasar
Tiga Suku Kata)
Penulisan kata dasar yang terdiri
atas tiga suku kata mengacu pada asal-usul kata itu sendiri (Soken Dkk,
2011:57). Bagi kata-kata yang berasal bahasa Bali, bahasa Daerah, bahasa
Indonesia, dan bahasa asing sistem penulisan suku kata pertamanya, baik dalam
aksara Bali maupun dalam aksara Latin harus memakai pepet (…))
atau ditulis sesuai dengan lafalnya. Sedangkan kata-kata yang berasal dari
bahasa Jawa Kuna atau Sanskerta lafal /ǝ/ pada suku kata pertamanya ditulis
dengan /a/.
5)
Aksara Madwita
Dwita
adalah konsonan (wianjana) yang
digantungi oleh konsonan yang sama. Kata yang memakai dwita berasal dari akar kata bahasa Sanskerta. Sebelum Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 di Denpasar ada kaidah-kaidah yang menyatakan
bahwa setiap kata dasar bila aksara yang terletak di depannya memakai surang (…()
maka aksara yang terletak di belakangnya harus ditulis rangkap (dwita). Namun, setelah Pasamuhan Agung
dinyatakan bahwa dwita yang
disebabkan oleh surang itu dihapuskan
karena dipandang kurang praktis jika ditulis dengan huruf Bali-Latin dan
menyalahi fonologi (Soken Dkk, 2011:39).
6)
Pasang Pageh
Dalam sistem penulisan dengan pasang aksara Bali terdapat kata-kata
yang penulisannya memang demikian adanya. Tidak diketahui bagaimana asal-usul
terbentuknya sehingga penulisannya tidak bisa diubah. Penulisan seperti itulah
yang disebut dengan pasang pageh.
Menurut Dinas Kebudayaan Propinsi Bali,
dikemukakan pengertian pasang pageh
sebagai berikut.
Pasang pageh inggih punika pasang aksara
sane sasuratannyane wantah asapunika. Kruna sane nganggen pasang pageh
ketahnyane mawit saking basa Kawi miwah basa Sanskerta.
Artinya, pasang pageh adalah pasang
aksara yang penulisannya memang demikian. Umumnya, kata yang ditulis
menggunakan pasang pageh berasal dari
bahasa Jawa Kuna (Kawi) dan bahasa Sanskerta.
7)
Aksara
Anceng
Aksara
anceng dalam bahasa Indonesia disebut juga singkatan. Pada mulanya, aksara anceng tersebut hanya bisa
ditemukan pada ranah tradisional saja. Penulisan tersebut sering dijumpai pada
penulisan lontar-lontar kuna seperti: wariga,
usada, pipil, tatwa, usana, dan sebagainya. Dinas Kebudayaan
Propinsi Bali dikemukakan:
Ringkesan
tradisional inggih punika aksara sane
kacutetang kaambil kecap ipun wantah asiki. Aksara anceng punika ketah kaanggen
nyuratang wariga, usada, pipil,muah sane lianan. Lianan punika, rikala
nyuratang punika patut apit carik siki. Upami: Pon = (pÙ
), Mantra = (m ), Radite = (r).
Seiring dengan perkembangan peradaban dan
kehidupan masyarakat Bali, maka singakatan pun menjadi merambat pada penulisan
singkatan ke ranah modern, baik singkatan dari bahasa Indonesia, maupun
singkatan bahasa asing lainnya. Menurut Soken Dkk, (2011:73) aturan penulisan
ranah modern ini ditulis diantara carik siki/apit carik (,….,). Pada ranah ini,
yang ditulis adalah ucapan dari huruf (besar) yang membentuk singkatan tersebut
dengan menggunakan pasang palas (berjajar, kata yang satu dengan
kata yang lainnya terpisah). Misalnya: (SMP = ,6s/6m/ep,).
thx infonya mba,,
BalasHapussangat membantu tugas remidi...
btw mba singaraja mana??
Suksma ya mok
BalasHapus